Herni Susanti: Sikap Perawat pada LGBT, Jangan Jijik atau Menghakiminya

by
Herni Susanti, dosen Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia ketika sedang mengisi materi berjudul 'Homoseksualitas dalam Perspektif Keperawatan di Indonesia', Depok, (16/9/3017).

Menjadi perawat tak boleh diskriminatif. Perawat merawat setulus hati; tidak hanya merawat fisik, tetapi juga psikologis, hingga aspek spiritualnya.

Wartapilihan.com, Depok –Betapa mulia pekerjaan sebagai perawat. Herni Susanti sebagai dosen Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia mengatakan, perawat tak boleh diskriminasi untuk merawat seseorang, meski dia seorang LGBT.

“Ada orang yang–maaf, anusnya rusak, atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kita tidak boleh jijik. Prinsip merawat adalah peduli, memberikan rasa nyaman, compassion (kasih sayang), caring, memberikan harapan,” ujar Herni, di Rumpun Ilmu Kesehatan, Universitas Indonesia, Sabtu, (16/9/2017), Depok.

Menurut Herni, perlu juga untuk memberikan intervensi yang komprehensif terhadap pasien. Tidak hanya aspek biologis, psikologis, dan sosial, tetapi juga sampai ke spiritual. “Untuk masalah LGBT yang paling kering aspek spiritualnya. Seringkali aspek spiritual itu nonsense. Kita memiliki peran secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka,” ungkap Herni.

“Jelas mereka membutuhkan spiritual. Tapi orang Indonesia yang rata-rata punya agama, jadi spiritualnya tidak bisa dilepaskan dengan agama.”

Hal yang membuat Herni prihatin, dari sekian banyak pelaku LGBT di dunia, 7 persen ada di Amerika, mereka berprofesi sebagai perawat–baik gay dan juga lesbian. Bagai gunung es, data homoseksual tidak sebagaimana mestinya. Hanya terlihat atasnya saja.

“Jumlah LGBT pada tahun 2012 sebanyak 1.095.970 yang lelaki suka pada lelaki; yang tampak maupun tidak. Ini merupakan fenomena gunung es, itu yang terlihat saja. Belum lagi, perawat 7 persen di Amerika gay dan lesbian. Bukan tidak mungkin mereka memperlakukan pasien sebagai pasangan seksnya,” papar Herni.

Herni menuturkan, berdasarkan banyak literatur keperawatan, ada yang mengatakan bahwa LGBT disebabkan oleh faktor medis dan juga psikologis. Hal itu masih ia pertanyakan secara ilmiah, pasalnya data yang digunakan mengacu pada sampel yang sedikit, sehingga kurang representatif.

Menurutnya,  seseorang menjadi gay atau lesbian sangat kompleks. Ia menceritakan tentang mahasiswanya yang melakukan penelitian tentang gay dan lesbian. Informan menjawab beragam, mulai dari pola asuh yang tidak benar, lingkungan yang menstimulus, mengalami kekerasan hingga pelecehan seksual.

“Salah satu lingkungannya karena dia di lingkungan yang ada gay juga. Ini faktor penghambat yang besar, keinginannya untuk kembali normal besar karena merasa berdosa, udah gak enak menyakiti orang tua. Tapi karena lingkungannya punya perilaku yang sama, dia terjebak tidak bisa keluar,” Herni melanjutkan.

Namun demikian, sebagai perawat, yang perlu ditangani ialah responnya, bukan penyebabnya. “Kita tidak perlu menggali apa penyebabnya, dan berkutat di masa lalu. Yang penting ditangani responnya dia terhadap kejadian itu. Karena, banyak juga orang yang mengalami hal yang sama, tapi ada yang masih heteroseksual. Artinya, bukan di masa lalunya, tapi responnya setelah mengalami hal itu,” tukas dia.

Ia berharap, perawat di Indonesia tidak melakukan diskriminasi kepada siapapun, karena hal itu adalah salah satu sumpah sebagai perawat.

“Mungkin kita sepakat, bagaimanapun orang gay adalah orang yang perlu ditolong untuk kembali ke fitrahnya. We are angle with stetoskop. Harus holistik. Nggak hanya fisik, tapi juga psikisnya,” tandasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *