Idul Kurban, Menyembelih Keburukan Diri

by
Sumber:http://4.bp.blogspot.com/_UKr-YyHOrvU/TRHHCNH4VDI/AAAAAAAAAGo/_vZ_YvvHR3M/s1600/IMG_2515.jpg

Mulai besuk, selama empat hari, ritual tahunan idul adha akan dilaksanakan oleh umat Islam. Secara hakiki, idul kurban sebenarnya menyembelih keburukan diri.

Wartapilihan.com, Depok –Hari Raya Idul Adha 1438 H, bagi umat Islam Indonesia, memiliki makna lebih berarti dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mengingat, seperti kita maklumi dan rasakan, badai yang menjungkirbalikkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi begitu hebat. Hal ini diungkapkan Ustadz Syamsul Yakin, Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia, Depok, Kamis (31/8/2017). Ia mengatakan, sejatinya idul adha ialah menyembelih keburukan diri.

“Perintah penyembelihan, bila dibaca secara “teologis-radikal”  sebenarnya mengisyaratkan agar manusia “menyembelih” perbuatan jahat dan tabiat buruknya,”

Ia menjelaskan, dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini, kontekstualisasi ibadah Kurban terletak pada kesediaan untuk “menyembelih” nafsu angkara-murka, kemudian bergerak mengoreksi ranah kehidupan sosial, ekonomi, panggung politik, lembaga pengadilan dan aparat keamanan, serta mereka yang memanggul amanah rakyat di lembaga legislatif dan eksekutif.  “Idul Kurban, dengan demikian, merupakan  prosesi “penyembelihan” potensi sebagai pembohong, pengkhianat, penipu, perampok, curang, dusta, sumpah palsu, manipulasi, dan memperjual-belikan hukum,” tandas Syamsul.

Syamsul menjelaskan, Idul Adha disebut juga Idul Kurban. Disebut demikian karena umat Islam pada saat itu, bagi yang mampu, memotong hewan ternak  berupa sapi atau kambing dan sejenisnya sebagai lambang ketakwaan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. “Sebagai sebuah refleksi historis, Idul Adha atau yang biasa disebut sebagai Hari Raya Kurban merupakan simbol  ketaatan, pengorbanan, dan cinta,”

“Ibrahim yang hidup di tengah masyarakat bercorak pastoralis (kelompok masyarakat peternak), melambangkan sosok ayah yang demokratis. Kendati Allah yang memberi perintah untuk mengorbankan Ismail, Ibrahim tetap mempunyai pertimbangan kemanusiaan. Dalam bahasa puitis al-Qur’an dialog Ibrahim itu berbunyi, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu”? (QS. al-Shaffat/37: 102),” papar Syamsul.

Dengan demikian, Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, ibadah Kurban bisa dimaknai sebagai pemberian sesuatu yang paling dicintai untuk dipersembahkan kepada Yang Maujud, Allah. “Jadi ibadah Kurban sedianya menjadi media efektif untuk melatih diri agar selalu erat dan dekat kepada Allah,” imbuhnya.

Namun ia mempertanyakan, apakah rangkaian Idul Kurban termasuk penyembelihan hewan ternak telah benar-benar menimbulkan kesadaran spiritual atau batiniah umat ataukah sekedar mode, ikut-ikutan, dan sesuatu yang terjadi berulang-ulang saja?

“Kalaulah jawabannya adalah  yang kedua, berarti kita patut untuk menata kembali pemahaman kita mengenai hakikat kurban. Secara tak sadar, kita saat ini telah terjebak dalam gerak tubuh dan lambang keagamaan yang justru akan menempatkan kita pada ruang gelap-hitam. Sehingga pesan spiritual ibadah kurban tidak mampu dilihat, baru sekedar dikira dan diraba,” tandasnya.

Karena itu, kebersihan jiwa berupa keikhlasan dalam beramal, menurutnya jadi prasyarat untuk mendapat ridha Tuhan dalam ibadah kurban, kiranya, menjadi prasyarat agar amal yang dilakukan tidak sia-sia. Segala macam ritual dalam Islam seyogyanya meliputi gerak fisik, batin, dan karya nyata yang fungsional bagi penyelesaian berbagai problem kemanusiaan, sosial, dan budaya.

“Kebaktian kepada Tuhan tidak ditandai oleh  kian banyaknya orang berhaji, tumbuhnya pendidikan Islam, semaraknya dakwah, menjamurnya tempat ibadah, ramainya perayaan-perayaan keislaman, termasuk kian “hijaunya” wajah parlemen dan layar kaca,”

“Ibadah Kurban sejatinya dimaknai semangat seperti ini. Inilah pesan kontekstual Kurban sebagaimana diseru al-Qur’an, “…lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah  (dengan bagian yang lainnya) orang fakir dan sengsara” (QS. al-Hajj/22: 28),” pungkas dia.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *