Ummatan Wahidah

by
http://cdn-sabreakingnews.365.co.za

Piagam Madinah merupakan tanda telah terbentuknya suatu struktur serta pemerintahan Islam di Madinah. Namun sebelum dicetuskan Piagam Madinah yang melahirkan suatu daulah atau suatu institusi kenegaraan, lebih dahulu Rasulullah membentuk ummatan wahidah, yang sering diidentikan dengan persaudaraan dari sahabat Muhajirin dan Anshar.

Wartapilihan.com, Jakarta –Satu ummah dalam kepemimpinan Rasulullah SAW merupakan bentuk tertinggi suatu masyarakat. Ia jauh melebihi persatuan dalam bentuk apa pun, melebihi persatuan dalam naungan kerajaan maupun kebangsaan. Negara modern yang berbentuk negara-bangsa itu pun, bahkan masih kalah dengan konsep ummah, lantaran kesatuannya hanya berdasarkan rumpun, etnik dan suku. Tidak jarang negara serumpun pun, bisa terlibat konflik dan perpecahan. Dari sisi ini, negara yang sering dicitrakan sebagai negara maju Amerika Serikat, Rusia, China maupun negara-negara Eropa sesungguhnya terbelakang. Negara yang institusinya dibangun atas ummatan wahidah merupakan negara dalam bentuk paling kuat secara ikatan. Konsep ummah yang dimiliki Islam merupakan konsep yang paling tepat untuk tantangan globalisasi zaman ini, di mana ia mampu menampung beragam bangsa, rumpun, etnik dan suku. Ajaran yang mampu mempersatukan negara-bangsa mana pun. Dulu di masa Rasulullah, Khulafa Ar-Rasyiddin, Bani Umayyah, Bani Abbas hingga Turki Utsmani sekian banyak bangsa, rumpun dan etnik bisa jadi ummatan wahidah, umat yang satu. Bukan saja internal umat Islam melainkan pula bangsa Yahudi, kaum Nasrani, berbagai agama dan bangsa lainnya diberikan hak sosial-masyarakat yang sama dengan kaum Muslimin. Soal ibadah pun diserahkan sepenuhnya kepada agama masing-masing selama itu tidak melanggar rambu-rambu negara yang berdasar syariat Islam.

Dewasa ini, negara-negara di dunia justru mundur dari perspektif ikatan. Lebih rendah levelnya daripada persatuan khas pimpinan Rasulullah SAW. Individu Muslim ketika sudah bersyahadat, ia sudah menjadi tanggung jawab ummah, tanggung jawab kolektif, mulai dari keluarga, masyarakat sekitar rumahnya hingga oleh negara itu sendiri.
Ini konsep kemasyarakatan dan ikatan yang paling tepat untuk menghadapi tantangan globalisasi mengingat ikatannya tidak dibatasi ikatan kebangsaan dan tidak memandang manusia dari kedudukan maupun kekayaannya.

Suatu contoh, untuk tanggung jawab kolektif masyarakat sekitar terhadap tiap-tiap individu Muslim, menurut Mazhab Imam Syafi’i dalam rentang 40 rumah itu adalah tetangga. Tetangga dalam Islam memiliki hak yang istimewa, wajib membantu tetangga apabila kesusahan. Tetangga pun memiliki hak untuk diperhatikan lebih. Jika ada salah satu individu sedang kesusahan, masyarakat dari 40 rumah di sekitarnya wajib membantunya dari keamanan, kesehatan maupun kebutuhan ekonominya. Di sini kunci kekuatan ummah dalam level ‘kampung’ saja. Dengan sendirinya, negara sendiri sudah terbantu oleh ukhuwah maupun ikatan sosial warganya sendiri. Tentunya ini berbeda dengan era individual saat ini, termasuk di bumi Indonesia tercinta, yang hampir semua sendi kehidupan hampir selalu dilihat dari asas keuntungan ekonomi maupun kepentingan dirinya sendiri. Masyarakat di bawah kapitalisme melahirkan masyarakat yang egois dan individualis. Menolong orang kala ada uangnya atau di kala berguna bagi kedudukannya. Contohnya orang yang menolong karena sedang kampanye, agar orang memilih dirinya.

Bukan itu saja, keseimbangan ekonomi yang diidam-idamkan tiap negara hanya bisa dibangun dengan akhlak-sosial yang tinggi, itu pun hanya ada dalam ajaran Islam dan hanya bisa dipraktikan dalam negeri yang memakai asas Islam. Bagi masyarakat konsumtivisme atau konsumerisme global seperti umumnya zaman ini, yang dipikirkan ialah bagaimana cara mengkonsumsi sebanyak-banyaknya, untuk “apa yang sudah saya dapat dan coba”. Keseimbangan ekonomi baru ada saat mempraktikan ajaran Islam dengan akhlak-sosial tinggi, wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun, begitu firman Allah dalam berbagai ayatNya di dalam Al-Qur’an.

Demikian, saking kuatnya konsep ummah dalam Islam, ada bukti yang menarik. Kita ingat ada Andalusia yang menjadi negara berdaulat, di masa Kekhalifahan Abbasiyah. Saat itu Andalusia di zaman kejayaannya dari abad kedua hingga lima Hijriyah, masyarakatnya mayoritas bermazhab fiqh Maliki. Kita ingat murid-muridnya Imam Malik dahulu begitu heterogen, mereka berbondong-bondong datang ke Madinah demi menimba ilmu pada imamnya darul hijrah itu. Banyak pula mereka yang datang dari Andalusia. Kendati begitu Kekhalifahan Bani Abbas yang secara politik tidak sehaluan dengan Andalusia saat itu sama sekali tidak memperlakukan murid-murid Imam Malik dari Andalusia sebagai ‘warga asing,’ tidak ada dendam terhadap mereka, dan tidak pula diminta menjadi mata-mata Bani Abbas untuk menggerogoti Andalusia. Tentu beda kasusnya jika ini terjadi pada negara-negara Barat zaman sekarang. Ini bukti ‘kecil’ yang kuat, konsep ummah lebih kuat dari institusi negaranya sendiri. Tentu saja bukti yang ada jauh lebih banyak daripada apa yang dicontohkan di sini.

Sekuat apa pun institusi negara, tidak akan sekuat ummah. Dalam internal umat Islam, penguasa dan institusi kenegaraan boleh berganti dari Bani Umayyah ke Abbasiyah, dari Bani Abbas hingga ke Turki Utsmani, tetapi ummatan wahidah senantiasa berdiri kokoh. Bahkan umat Islam saat itu sedang terpuruk memasuki abad 19 dan 20 M.

Khilafah Abbasiyah di Baghdad pada masa itu tidak membeda-bedakan warganya yang sedang menimba ilmu di wilayah kekuasaannya dengan orang-orang Andalusia yang sedang belajar. Ini menjadi ibrah bagi kita yang hidup di abad 21 M atau 15 H ini, bahwa sepatutnya ummatan wahidah kita kembali digelorakan. Rasulullah SAW saja mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar lebih dahulu, membentuk kesatuan umat lebih dulu, sebelum mencetuskan Piagam Madinah.

Momentum Aksi Bela Islam tahun 2016 lalu menjadi modal kita. Aksi yang diikuti jutaan massa umat Islam tersebut tidak lain adalah momentum ukhuwah kita. Modal dasar ummatan wahidah yang diidamkan bersama. Untuk kemudian melangkah bersama, berbagi tugas dan menyatukan visi-misi bersama.

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *