Agar Sejarah Islam Tidak Lagi Terpengaruh Orientalisme

by
foto:istimewa

“Sejarah setiap kaum ditulis oleh kaum itu sendiri, walaupun yang lainnya juga ikut ambil bagian. Dan sebenarnya kitalah (umat Islam) yang paling bertanggung jawab atas penulisan sejarah kita melalui tangan-tangan kita sendiri, agar kita tahu budaya, prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan kita berdasarkan pemahaman pada sejarah itu sendiri” demikian penjelasan Syaikh Prof. Akram Dhiya’ Al-Umari, mantan guru besar sejarah Universitas Islam Madinah dalam kitabnya Sirah Nabawiyah Ash-Shahihah.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Pengembalian konteks sirah Nabawiyah dan penulisan sejarah di masa awal Islam menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Maka dari itu, visi dan misi sejarah oleh sejarawan Muslim saat ini harus disesuaikan dengan para sejarawan Muslim terdahulu, yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas penafsiran, pemaknaan dan penulisan sejarah. Penafsiran atau pemaknaan yang terpancar dari adanya pengaruh wahyu ilahiah terhadap gerak sejarah umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini guna menggantikan penafsiran yang mengandalkan teks sejarah belaka dengan pemaknaan yang hanya sesuai kehendak dan pemikiran masing-masing sejarawan, seperti pemahaman sejarah para orientalis abad 19 hingga abad 20.

Teks sejarah umat Islam harus diteliti dan ditulis melalui segi pemaknaan Islamnya, yang berupa pemahaman terhadap prinsip aqidah Islam maupun konsep-konsep ajaran Islam. Demikian hal ini telah digelorakan Akram Dhiya’ Al-Umari sejak dekade awal 1990-an. Lantaran, saking tidak mungkinnya menulis sejarah Islam namun dengan memakai kacamata Barat yang kering dari wahyu.

Dampak positif dari hal ini, bahkan seorang sejarawan dan sarjanan non-Muslim pun bisa menulis sejarah Islam sesuai konteksnya serta tidak keliru dalam menafsirkan perilaku sejarah umat Islam. Umumnya para peneliti sejarah Islam dari Barat memakai tradisi orientalisme dalam memaknai sejarah Islam, sehingga yang ada hanya celaan, menyudutkan bahkan penghinaan terhadap tokoh-tokoh sejarah Islam, singkatnya membuat sejarah imaginer (khayalan) untuk dinikmati para pembacanya daripada sejarah ilmiah yang dikonstruk berdasarkan fakta maupun penafsiran sejarah yang benar.

Umumnya, para orientalis memandang sejarah Islam secara subjektif dan jauh dari sikap ilmiah, tidak bisa memenuhi integritas serta persyaratan ilmiah. Tidak mengherankan jika sejarah Rasulullah SAW sekalipun sering kali menjadi bahan pelecehan oleh mereka. Hal ini bukan hanya mencederai etika keilmuwan, tapi juga berbahaya dampaknya untuk para pembaca awam dan peminat sejarah pemula. Tradisi semacam itu sangat subur di abad 19 dan paruh pertama abad ke-20 M.

Penulisan sejarah Islam para orientalis tentu bertolak belakang dengan prinsip mereka yang mengharuskan ilmu itu serba objektif. Sudah bukan hal tabu lagi jika para orientalis di masa lalu memiliki ‘kepentingan terselubung’ dalam rangka pengokohan kolonialisme, imperialisme maupun misionarisme. Mereka tidak dapat menyembunyikan rasa kebencian dan kedengkiannya kepada umat Islam lantaran rasa trauma masyarakat Eropa akibat dakwah, futuhat Islam serta ajaran Islam yang mendebat habis aqidah Kristen sebagai ‘agama resmi’ di Eropa.

Hal itu diakui sendiri oleh orientalis kenamaan Bernard Lewis, seorang cendikiawan Yahudi-Amerika. Sebenarnya, karya-karya orientalis dalam banyak kasus sangat jauh dari ilmiah. Lebih-lebih orientalis klasik, banyak dari karya mereka berisi hujatan yang bersifat reaktif, emosional, dan menciptakan sejarah yang bersifat imaginer (khayalan) tentang Islam dan Dunia Timur. Hal senada diakui pula oleh pakar keilmuwan orientalisme seperti Edward Said dalam bukunya yang terkenal Orientalism.

Masyarakat Barat sendiri bukan tidak terkena imbas negatif, akibat ulah para intelektual mereka (orientalis dan sejarawan yang mengkaji Islam). Akhirnya masyarakat Barat hanya menerima hasil rekaan figur-figur dan peristiwa sejarah yang jauh dari apa yang terjadi sebenarnya. Alih-alih memahami sejarah dengan baik, masyarakat Barat lebih meraih imaginasi para intelektualnya daripada meraih ilmunya. Masyarakat Barat telah ditanamkan rasa kebencian, memori-memori permusuhan khas Perang Salib, dan tuduhan-tuduhan terhadap Islam yang sesungguhnya mengada-ngada. Dampaknya bahkan terasa hingga kini, dengan begitu banyaknya masyarakat awam Barat yang salah paham terhadap Islam.

Maka jika yang terjadi adalah sejarawan Muslim menafsirkan sejarah Islam sesuai worldview Barat jelas merupakan kekeliruan dan kemunduran. Pandangan sejarah “bersumber dari pandangan Islam terhadap alam, kehidupan dan manusia. Sejarah harus berdasarkan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, hari akhir dan taqdir baik atau buruk” meminjam ungkapan Akram Dhiya’ Al-Umari.

Pengembalian kepada pandangan sejarah Islam berarti menjadikan aqidah Islam sebagai asas interpretasi dan konteks penulisan. ‘Gerak sejarah’ umat Islam generasi awal sangat tidak mungkin dipahami tanpa mengaitkannya dengan ajaran Islam sendiri.

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *