Dimana Titik Kritis Keharaman Gula Rafinasi?

by
Foto: Istimewa

Ada gula, ada semut. Pepatah itu  pas pula untuk menggambarkan betapa menariknya bisnis pemanis ini. Tiap tahun, jutaan ton gula diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tidak hanya untuk konsumsi sehari-hari seperti untuk campuran minum teh atau kopi, tapi juga untuk industri. 

Wartapilihan.com, Jakarta — Di kalangan masyarakat konsumen maupun industri terdapat berbagai jenis gula dan pemanis. Ada yang sifatnya  alami ada pula yang sintetis, atau disebut pemanis buatan.  Sesuai namanya, pemanis buatan merupakan senyawa hasil sintetis yang merupakan bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan atau minuman.

Beberapa pemanis buatan yang beredar di pasaran di antaranya aspartam, yang kerap digunakan dalam produk-produk minuman ringan. Aspartam merupakan pemanis yang berkalori sedang. Tingkat kemanisan dari aspartam 200 kali lebih manis daripada gula pasir, sehingga dinilai lebih ekonomis.

Ada pula sakarin, yang tingkat kemanisannya mencapai 300 kali dibandingkan gula pasir, sehingga jika terlalu banyak justru menimbulkan rasa pahit dan getir.  Sedangkan untuk industri es krim, selai, dan es puter, selain sakarin sering pula digunakan siklamat yang tingkat kemanisannya kurang lebih 30 kali dibandingkan gula.  Ada pula sorbitol, pemanis yang biasa digunakan untuk pemanis kismis, selai dan roti.

Dosen  Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, M.Si, menyatakan, ada beberapa pertimbangan dalam  memilih jenis pemanis untuk makanan yang dikonsumsi. Pemanis sintetis dipilih karena harganya relatif murah dan tingkat kemanisannya sangat tinggi. Namun, ada pula yang memilih pemanis alami karena dari segi kesehatan dinilai lebih aman, meski harganya lebih mahal.

“Pemanis  buatan harganya lebih murah, tetapi aturan pemakaiannya sangat ketat karena bisa menyebabkan efek negatif yang cukup berbahaya,” katanya. Pada kadar atau takaran tertentu, tambah Mulyorini, pemanis buatan masih diijinkan untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan, tetapi pada kadar yang tinggi bahan ini akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Di sisi lain, pemanis alami tentu lebih aman karena berasal dari bahan nabati  seperti tebu, aren, maupun kulit kayu manis. Ada pula pemanis alami yang berasa dari hewan, yakni madu.

Cermati Kehalalannya

Lalu, bagaimana sisi kehalalannya? Apakah gula atau pemanis alami pasti dijamin halal, sedangkan yang sintetis haram? Wakil Direktur LPPOM MUI Bidang Auditing dan Sistem Jaminan Halal (SJH), Ir. Muti Arintawati, M.Si menjelaskan, meski bahan baku gula berasal dari tumbuhan, tak serta merta gula tersebut halal. Begitu pun sebaliknya.  “Ada proses lanjutan yang melibatkan bahan-bahan lain yang harus kita  cermati halal haramnya,” kata Muti.

Dalam hal gula tebu misalnya, Muti menyebutkan di masyarakat beredar dua jenis gula yang sesuai peruntukannya ditangani dengan cara yang berbeda pula. Ada gula yang  digunakan untuk konsumsi masyarakat secara langsung, misalnya untuk pemanis minum teh atau kopi. Gula jenis ini di masyarakat dikenal dengan istilah gula pasir.

Meski bahan dasarnya sama, yakni tebu, bentuk dan kegunaan masing-masing jenis gula juga berbeda. Misalnya gula muscovado, yang terbuat dari nira tebu yang diuapkan, yang biasa digunakan sebagai pemanis kue. Ada pula gula donat yang sering dipakai untuk pemanis donut karena sifatnya yang tidak meleleh saat tercampur dengan minyak. (selengkapnya baca: Berbagai Jenis Gula dan Kegunaannya).

Sedangkan untuk industri digunakan gula rafinasi yang bahan baku utamanya adalah gula mentah (raw sugar), namun memerlukan proses lanjutan. Nah, agar bisa menjadi gula yang siap pakai sebagai bahan tambahan pada industri makanan atau minuman, maka raw sugar tersebut harus melalui proses rafinasi, yang tahapannya cukup panjang.

Untuk alasan higenitas dan kesehatan, industri makanan dan minuman membutuhkan kualitas gula yang lebih baik yang diperoleh dari gula rafinasi. Kata rafinasi diambil dari kata refinery, yang artinya menyuling, menyaring, membersihkan. Jadi bisa dikatakan bahwa gula rafinasi adalah gula yang mempunyai kualitas kemurnian yang tinggi karena sudah disuling, disaring dan dibersihkan.

Mengingat gula rafinasi melalui proses panjang dan menggunakan bahan tambahan maupun bahan penolong, maka gula jenis ini memang layak dicermati kehalalannya.  Alasannya, “sama seperti bahan tambahan lain dalam sebuah produk olahan makanan atau minuman, gula juga memiliki titik kritis haram yang harus diperhatikan saat auditor kami melakukan pemeriksaan di lapangan,” tukas Muti Arintawati.

Dikutip dari tulisannya yang diunggah di www.teknikkimia.blogspot.co.id , proses rafinasi gula biasanya melalui beberapa tahap, antara lain afinasi, karbonatasi, dekolorisasi, kristalisasi, pengeringan hingga pengepakan. (selengkapnya baca: Proses Gula Rafinasi. Di Mana Titik Kritis Haramnya?)

Mulyorini  mengungkapkan, dari serangkaian proses rafinasi tersebut, tahap kritis yang harus dicermati adalah pada proses dekolorisasi atau penghilangan warna, karena melibatkan penggunaan arang aktif. Arang aktif atau sering disebut karbon aktif merupakan material yang memiliki pori-pori sangat banyak yang dapat menyerap apa saja yang dilaluinya. Material ini bisa berasal dari tulang hewan, tumbuhan maupun dari batu bara.

Lantaran fungsinya sebagai penyaring (filter), maka arang aktif kerap digunakan di berbagai bidang usaha atau industri. Begitu juga di industri pengolahan gula, di mana karbon aktif sangat berperan dalam proses pemutihan gula yang dari awalnya berwarna coklat keruh menjadi putih bersih.

Dari sinilah titik kritis  haram karbon aktif dapat ditelusuri. Apabila karbon aktif ini berasal dari hasil tambang atau dari arang kayu, maka tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila menggunakan arang tulang, maka haruslah dipastikan status kehalalan asal hewannya. Arang aktif  haram dipakai jika berasal dari tulang hewan haram, atau tulang hewan halal yang tidak disembelih sesuai syariat Islam.

Selanjutnya, bahan lain yang ditambahkan pada proses berikutnya juga harus dicermati. Apabila menggunakan bahan sintetis kimia tentu tidak masalah, meski kadarnya harus tetap diperhatikan. Namun apabila menggunakan produk mikrobial, maka harus dipastikan bahwa media yang dipakai  adalah media yang halal.

Dari sisi kandungan bahan haram, seperti dijelaskan dalam buku Halal Assurance System (HAS) seri 23101 tentang Pedoman Pemenuhan Kriteria Jaminan Halal di Industri Pengolahan, gula termasuk dalam kelompok bahan kritis. Dalam buku tersebut dijelaskan, ada tiga kategori bahan, yakni bahan sangat kritis, bahan tidak kritis, dan bahan kritis, yaitu bahan yang tidak termasuk dalam kelompok bahan sangat kritis dan bahan tidak kritis.

Bahan sangat kritis adalah bahan yang dalam pengajuan sertifikasi halal harus dilengkapi dengan sertifikat halal. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (a) Bahan yang berasal dari hewan sembelihan dan turunannya, atau bahan yang mengandung hewan sembelihan dan turunannya; (b). Bahan yang sulit ditelusuri kehalalannya atau bahan yang mengandung bahan yang sulit ditelusuri kehalalannya; serta (c). Bahan yang mengandung bahan yang sangat kompleks.

Sebaliknya, bahan yang tidak kritis adalah bahan yang tidak harus dilengkapi dengan dokumen pendukung, misalnya bahan tambang, bahan kimia, bahan nabati dan sejenisnya. Nah, gula ada di tengah-tengah antara bahan sangat kritis dan tidak kritis tersebut. Artinya, jika gula yang dipakai seluruh prosesnya dapat dilakukan telaah dan tidak melibatkan bahan hewani, maka untuk bahan tersebut tidak diperlukan sertifikat halal.  Namun apabila gula tersebut melalui proses tambahan yang melibatkan bahan hewani maka harus disertakan sertifikat halal.

Meski begitu, Muti Arintawati menandaskan, penggunaan bahan kimia dalam makanan dan minuman harus melalui batasan dan seleksi yang sangat ketat, dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dari kacamata LPPOM MUI, penggunaan bahan kimia juga  terkait dengan unsur thayib.  “Kalau tidak thayib, bahkan berbahaya bagi kesehatan tentu tidak bisa disertifikasi halal. Nah untuk proses rafinasi gula residu sulfit juga menjadi titik perhatian utama dari segi kesehatan,” ujarnya.

Muti Arintawati menambahkan, meski terlihat sederhana, telaah atas halal haram gula rafinasi sangatlah penting mengingat konsumsi gula jenis itu di dalam negeri relatif besar.  Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, diperkirakan kebutuhan gula nasional pada 2017 mencapai 5,7 juta ton. Jumlah tersebut terdiri dari gula industri sebesar 2,8 juta ton dan gula konsumsi rumah tangga sebanyak 2,9 juta ton.

Pertumbuhan industri makanan dan minuman membuat permintaan gula industri akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) memproyeksikan, industri makanan dan minuman pada tahun ini tumbuh 8 persen.

Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman, seperti dikutip sejumlah media mengatakan, kebutuhan gula rafinasi pasti akan meningkat karena produksi gula kristal putih menurun. Selain itu, banyak industri kecil menengah (IKM) yang juga membutuhkan gula rafinasi sehingga harus dipenuhi.

“Kami perkirakan di tahun depan itu kebutuhannya 3,2 juta ton ditambah IKM 350.000 ton, jadi sekitar 3,5 juta ton. Oleh sebab itu, harus diantisipasi oleh pemerintah bahwa  harus dipikirkan penambahan izin impor untuk raw sugar untuk diolah di dalam negeri,” ujarnya kepada media di Jakarta.

Besarnya kebutuhan gula industri, menurut Adhi juga disebabkan beberapa industri makanan dan minuman dalam negeri yang sudah menggarap pasar ASEAN. “Ini menjadi salah satu potensi yang bisa ditingkatkan,” ujarnya. (FM)

Proses gula rafinasi, dimana titik kritis haramnya?

Tahap pertama pada proses rafinasi gula dimulai dari afinasi. Afinasi itu sendiri adalah proses pemurnian gula yang masih kasar, dimana gula kasar (raw sugar) dicuci dahulu untuk mengurangi lapisan molases yang melapisi kristal sehingga warna kristal lebih ringan atau warna ICUMSA lebih kecil.

Tahap selanjutnya adalah proses klarifikasi. Proses ini bertujuan untuk membuang semaksimal mungkin pengotor non sugar yang ada dalam leburan(melt liquor). Ada dua pilihan teknologi yaitu fosflotasi dan karbonatasi. Pada proses fosflotasi ini digunakan asam fosfat dan kalsium hidroksida yang akan membentuk gumpalan (primer) kalsium fosfat, reaksi ini berlangsung di reaktor.

Kemudian dilakukan dekolorisasi atau penghilangan warna. Untuk menghilangkan zat warna dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya  dengan granula karbon aktif. Selain itu digunakan juga bone char. Bone char dapat digunakan selama 4-5 hari kemudian di regenerasi kembali.

Meskipun kemampuan mereduksi zat warna tidak sebaik karbon aktif namun mampu mereduksi kotoran zat anorganik. Bisa juga untuk menghilangkan warna ini digunakan resin penukar ion (ion- exchange resin). Bahan ini mudah diregenerasi dan dalam penggunaannya mempunyai kapasitas lebih besar dibandingakan dengan karbon aktif maupun bone char.

Selain itu penggunaan air juga lebih efisien. Ada dua jenis resin yang digunakan dalam rafinasi yaitu resin anion yang berfungsi mereduksi warna dan resin kation untuk menghilangkan senyawaan anorganik.

Selanjutnya adalah tahap kristalisasi. Dimana bahan utama kristalisasi adalah liquor yang sudah melewati tahap dekolorisasi. Liquor tersebut kemurniannya tinggi sehingga teknik kristalisasinya (evapocrystalisation) dilakukan di bejana vakum (65 cm Hg) dengan penguapan liquor pada suhu sekitar 70-80 0C sampai mencapai supersaturasi tertentu.

Pada kondisi tersebut dimasukkan bibit kristal secara hati-hati sehingga inti kristal akan tumbuh mencapai ukuran yang dikehendaki tanpa menumbuhkan kristal baru. Pemisahan kristal dilakukan dengan cara memutar masakan dalam mesin sentrifugal menghasilkan Kristal dan sirup. Sehingga secara berjenjang menghasilkan gula yang masuk dalam katagori gula rafinasi.

Proses terakhir adalah proses pengeringan gula produk. Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal gula. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk memisahkan keduanya. Setelah gula kering, gula langsung didistribusikan kebagian pengemasan. Disana gula dikemas ke dalam ukuran 50 kg dalam satu karung.

Begitulah proses pembuatan gula rafinasi. Pada umumnya gula rafinasi ini kurang manis dibanding gula yang kita konsumsi sehari hari. Oleh sebab itu banyak ibu rumah tangga kurang maminati gula ini. Gula rafinasi ini banyak digunakan pada industri makanan dan minuman sebagai pemberirasa manis,sebab kehigienisan gula ini yang menjadi prioritas utamanya.

Berbagai jenis gula dan kegunaannya

Gula memiliki berbagai jenis dan cara penggunaan yang beragam, meskipun tujuannya sama, yaitu untuk menciptakan rasa manis. Berikut berbagai macam jenis gula dan kegunaannya pada umumnya:

Gula Halus (Confectioners/Powdered Sugar)/Icing Sugar

Ini adalah gula putih terbaik, karena mengandung 3% pati jagung untuk menghindari penggumpalan. Sering digunakan untuk pembuatan lapisan gula untuk kue.

Gula Castor (Castor Sugar)

Gula ini memiliki bentuk yang lebih halus dari gula pasir. Mudah bercampur dan memiliki warna yang putih bersih. Sering digunakan untuk campuran pemanis pada kue, kukis, dan lain-lain.

Gula Pasir (Granulated Sugar)

Gula pasir adalah gula berwarna putih yang biasa kita gunakan. Ini adalah jenis gula yang paling sering digunakan pada resep-resep, baik kue maupun masakan.

Gula Kasar (Coarse Sugar) 

Gula kasar adalah gula putih yang memiliki bentuk seperti kristal dan berukuran lebih besar daripada gula pasir.

Gula Donat (Donut Dusting)

Sesuai namanya, gula ini digunakan untuk taburan kue donat. Teksturnya sangat halus  seperti gula tepung dan berwarna putih. Gula ini memiliki rasa dingin ketika disantap. Keistimewaan dari gula donat ini adalah, gula ini tidak basah apabila terkena minyak, seperti pada donat yang baru digoreng kemudian ditaburi gula donat.

Gula Dadu (Dice Sugar)

Gula ini memiliki bentuk seperti dadu. Kualitas gula ini tinggi. Biasa digunakan untuk pemanis pada minuman seperti teh dan kopi.

Gula Batu (Rock Sugar)

Sesuai namanya, gula ini berbentuk seperti bongkahan batu. Rasanya tidak   begitu manis namun lebih legit. Biasanya digunakan untuk pemanis minuman.

Gula Palem (Palm Sugar)

Gula palem sering disebut sebagai gula semut. Gula ini berasal dari nira atau sari batang tumbuhan palem-paleman. Bentuknya seperti gula pasir, berwarna coklat dan memiliki harum yang khas. Biasanya gula ini digunakan untuk campuran kue kering.

Gula Jawa/Gula Merah

Gula ini sama seperti gula palem, hanya saja berbentuk silinder atau    menyerupai batok kelapa. Biasa digunakan untuk bahan masakan.

Gula Aren

Gula ini sama seperti Gula Jawa atau Gula Merah. Hanya saja, gula aren      memiliki harum yang lebih khas dan warna yang lebih coklat.

Gula Tebu (Turbinado Sugar) 

Gula ini berasal dari tebu mentah yang telah dipisahkan permukaan     molasenya. Memiliki tekstur seperti coarse sugar dengan warna keemasan.

Gula Coklat (Brown Sugar)

Gula Coklat adalah gula yang berasal dari gula pasir yang dicampurkan dengan molase kemudian dihaluskan. Semakin gelap warna gulanya, maka semakin banyak mengandung molase dan lebih kuat rasa karamelnya. Brown sugar memiliki keistimewaan yaitu  dapat mempertahankan kelembaban kue lebih lama sehingga hasil akhir (kue) lebih tahan lama.

Gula Muscovado (Muscovado Sugar)

Gula ini terbuat dari nira tebu yang diuapkan. Memiliki bentuk yang lebih kasar daripada gula pasir biasa. Diproses secara alami dan bebas dari bahan kimia yang sering digunakan untuk membuat gula lainnya. Gula ini memiliki banyak nutrisi dan mineral serta vitamin. Sering digunakan sebagai pengganti brown sugar. Demikian seperti dilansir laman resmi LPPOM MUI.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *