Diskriminasi Penerapan Hukum Terhadap Ulama dan Aktivis Islam

by
Dr Abdul Chair Ramadhan. Foto : Portal Islam

Oleh : Dr Abdul Chair Ramadhan (Ahli Hukum dan Pengurus Komisi Kumdang MUI)

Penegakan hukum (law enforcement) dimaknai sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum juga harus dibuktikan bahwa apakah ada perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu). Kemudian, pada proses bekerjanya hukum tentu harus didasarkan pada kondisi aparat penegak hukum yang harus tegas melaksanakan perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau equal justice under law. Kedua hal tersebut sangat prinsipil, termasuk dalam penerapan hukum pada kasus dugaan tindak pidana yang diarahkan kepada ulama dan aktivis akhir-akhir ini.

Pada kasus dugaan tindak pidana yang diarahkan kepada ulama dan aktivis, setidaknya yang perlu dipertanyakan adalah perbuatan pidana yang terjadi apakah telah memenuhi unsur-unsur pidana baik objektif maupun subjektif, dengan daya dukung minimal bukti yang sah.  Terhadap proses penegakan hukum tersebut apakah telah terjamin due procces of law, sebagai suatu proses hukum yang baik, benar dan adil.  Aparat penegak hukum tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memberikan semua hak yang telah ditentukan, serta mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses hukum yang adil tersebut, meskipun asas atau prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif.

Kondisi saat ini memperlihatkan, adanya anggapan di masyarakat bahwa proses penerapan hukum kepada ulama dan para aktivis sangat terkait dengan proses penegakan hukum terhadap Basuki T. Purnama, tidaklah dapat dipungkiri. Penulis tidak berkehendak membahas anggapan yang berkembang di masyarakat tersebut, namun lebih diarahkan kepada kesamaan perlakuan yang adil dan berimbang. Sebagaimana kita ketahui, penegakan hukum pada Basuki T. Purnama, tindakan paksa berupa penangkapan dan penahanan tidak dilakukan, padahal secara hukum tindakan tersebut dapat dilakukan. Begitupun proses penetapan tersangka pada Basuki T. Purnama dilakukan dengan proses berjenjang dengan mengacu kepada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Pada kasus dugaan pornografi yang disangkakan kepada FH (Firza Husein) dan HRS (Habib Rizieq Shihab), menurut  Perkap Nomor 14 Tahun 2012 adalah tergolong kriteria perkara sangat sulit, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18, antara lain: belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana; saksi belum diketahui keberadaannya; tersangka belum diketahui identitasnya ; dan memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang. Adapun pada kasus Basuki T. Purnama tergolong kriteria perkara mudah, disebutkan antara lain: saksi cukup; alat bukti cukup; tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan proses penanganan relatif cepat. Pada kasus Basuki T. Purnama, pihak penyidik melakukan telah gelar perkara dengan sebelumnya melakukan pemeriksaan kepada para Saksi dan para Ahli. Sedangkan pada dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada ulama dan aktivis, khususnya HRS, pemeriksaan para Saksi dan para Ahli yang seharusnya menjadi hak belum dilakukan pemeriksaan. Namun gelar perkara sudah dilakukan dengan hasil penetapan tersangka. Penetapan tersangka kepada FH dan HRS berlangsung demikian cepat, padahal jika mengacu kepada Pasal 18 Perkap Nomor 14 Tahun 2012, prosesnya memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang, dikarenakan belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, saksi juga belum diketahui keberadaannya. Saksi yang dimaksudkan disini adalah Saksi yang memiliki relevansi dengan pokok perkara, sebagaimana putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 65/PUU.VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011. Putusan Mahkamah Konstitusi menekankan harus adanya relevansi kesaksian dengan perkara pidana yang diproses. Relevansi alat bukti berhubungan dengan dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, dan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Tentu hal yang berbeda dengan kasus Basuki T. Purnama, prosesnya penanganan relatif cepat karena tergolong perkara mudah dengan ketersediaan Saksi yang cukup, alat bukti yang cukup dan Tersangka sudah diketahui.

Kenyataan menunjukkan Saksi yang dimaksudkan belum diketemukan, sehingga menjadi sumir peningkatan dari status Saksi menjadi Tersangka. Seharusnya predikat Tersangka ditujukan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE.  Dengan belum adanya penetapan Tersangka, karena Tersangka belum diketahui identitasnya, maka penerapan hukum ini cenderung dipaksakan dengan adanya dugaan kepentingan pemenuhan kehendak kekuasaan. Di sini terlihat yang paling menentukan dalam proses penegakan hukum adalah struktur kekuasaan politik. Singkat kata, kepentingan politik determinan atas penegakan hukum hukum.

Untuk menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan termasuk aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka seyogyanya penerapan hukum harus dilakukan secara adil, dengan adanya kesamaan perlakuan. Proses penegakan hukum terhadap FH dan HRS dan yang lainnya harus dipersamakan, harus dilakukan gelar perkara sebagaimana dilakukan kepada Basuki T. Purnama, dengan didahului pemeriksaan para Saksi dan Ahli agar berimbang dengan Saksi dan Ahli yang dihadirkan oleh penyidik. Dengan demikian, penetapan Tersangka yang sudah terlanjur ditetapkan harus dinyatakan “batal demi hukum”, demi pemenuhan due procces of law. Oleh karena itu, tindakan penahanan harus dihentikan, dikembalikan pada keadaan (kondisi) belum adanya suatu perbuatan pidana.

Terjadinya diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, apabila ada diskriminasi maka hal itu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tidaklah dibenarkan penerapan hukum seperti layaknya penerapan kepentingan politik sebagai alat untuk mencapai tujuan kekuasaan. Penerapan hukum yang cenderung represif (menindas) demi kepentingan politik sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negara hukum yang demokratis. Kita tidak menginginkan praktik politik yang secara substantif bertentangan dengan aturan-aturan hukum dan nilai-nilai keadilan. ||

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *