Konsekuensi Sertifikasi Halal oleh Pemerintah

by
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kanan) foto:istimewa

“Indonesia harus menyesuaikan regulasi dan peraturan yang sudah ada dan berlaku, sehingga kepentingan Indonesia dalam melindungi bangsa dan negara terakomodasi dengan baik,” saran Ikhsan.

Wartapilihan.com, Jakarta – Sejak 17 Oktober 2014 UU JPH (undang-undang jaminan produk halal) di undangkan sampai saat ini belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. Selain itu, jaminan produk baru bersifat_mandatory_ (wajib) pada 2019 mendatang.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menjelaskan, masalah yang harus dihadapi dalam pemberlakuan UU JPH ini adalah BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) yang dibentuk dan di bawah Kementerian, pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsinya, dapat dianggap sebagai “pembatasan” impor dan perdagangan yang diberlakukan oleh pemerintah, yang dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif dalam pelaksanaan ekspor-impor di Indonesia.

Pemerintah, kata Ikhsan, harus siap menghadapi gugatan-gugatan dari negara yang meratifikasi WTO sebagai konsekuensi sertifikasi halal yang diterbitkan oleh pemerintah.

Menurutnya, kedudukan BPJPH berada di bawah Kementerian Agama dapat menjadi pemicu Negara Anggota WTO lainnya untuk mengajukan sengketa perdagangan Internasional dalam bentuk gugatan atas tindakan yang melanggar ketentuan perdagangan bebas yang selama ini diterapkan di hampir di seluruh negara di dunia.

“Untuk menghindari adanya gugatan dan sengketa, maka sebaiknya campur tangan pemerintah dalam melaksanakan sertifikasi halal harus dibatasi,” ujar Ikhsan dalam shilaturahim Indonesia Halal Watch dan buka puasa bersama dengan awak media di resto D’Consulate Lounge, Jakarta Pusat, Selasa (22/5).

Hal tersebut, lanjut Ikhsan, untuk menghindarkan Indonesia dari sengketa dan gugatan yang diajukan oleh Negara anggota, Indonesia harus menyesuaikan regulasi dan peraturan yang sudah ada dan berlaku, sehingga kepentingan Indonesia dalam melindungi bangsa dan negara terakomodasi dengan baik.

Contohnya yaitu kasus Gugatan Brazil kepada Indonesia mengenai pengimporan daging ayam dan produk-produk dari ayam ke Indonesia, yang mana salah satu poinnya yaitu bahwa, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia (Indonesia – Measures Concerning The Importation Of Chicken Meat and Chicken Product (WT/DS484/8)).

“Brazil menganggap bahwa Undang-Undang tersebut dianggap sebagai cara untuk melarang impor daging ayam dan produk-produk ayam, dan bahwa persyaratan penyembelihan dan pelabelan halal bersifat diskriminatif,” jelasnya.

Selain itu, Amerika Serikat dan Selandia Baru mengajukan permohonan konsultasi dengan Indonesia ke WTO dengan nomor perkara DS477 dan DS478 mengenai tindakan-tindakan tertentu yang dikenakannya pada impor produk hortikultura, hewan dan produk hewani.

Beberapa kebijakan yang diprotes oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat adalah tentang tindakan rezim perizinan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, serta tentang tindakan larangan dan pembatasan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan melalui pensyaratan impor pada ketidakcukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Keputusan Majelis Panel WTO yang diumumkan pada 22 Desember 2016, setuju dengan gugatan Selandia Baru dan Amerika Serikat dan mengabulkan gugatan kedua Negara tersebut,” tutur dia.

Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”, maka Negara mengatur sertifikasi halal dari sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory).

“Karena negara memberlakukan sistem mandatory atau mewajibkan sertifikasi halal, maka menjadi kewajiban dan konsekuensi bagi negara untuk membantu membiayai sertifikasi halal bagi pelaku usaha khususnya produk UKM,” jelasnya.

Dikatakan Ikhsan, seperti yang dilakukan beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan, kedua negara tersebut memberikan subsidi penuh bagi pengusaha yang akan melakukan sertifikasi halal, apalagi untuk tujuan ekspor ke negara-negara kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Hal itu selaras dengan kebijakan pemerintah Taiwan yaitu New Southbound Policy (mengutamakan ekspor ke negara-negara Kawasan Asia Tenggara), terutama untuk tujuan eksport ke Indonesia pelaku usaha disubsidi 100.000 NT atau setara Rp 44.000.000,- (empat puluh empat juta) per tahun per pengusaha.

“Pemerintah Korea Selatan memberikan subsidi sekitar 80.000 Won atau setara Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) untuk biaya sertifikasi halal per tahun per pengusaha. Negara Taiwan pemerintahnya juga memberikan subsidi kepada pengusahanya yang akan memperoleh sertifikat halal,” tandasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *