Kuliah, Masihkah Cara Terbaik?

by

Hiruk pikuk penerimaan Mahasiswa Perguruan Tinggi favorite sudah mereda, disertai berbagai drama dan cerita yang bertebaran di sosial media. Lengkap, ada cerita suka cita, ada cerita derita. Ada yang mendapat puja-puji dan ‘congratulation’, ada yang dihibur wejangan motivasi untuk sekedar mengurangi lara hati.

WartaPilihan.com, DepokKuliah di perguruan tinggi favorite masih menjadi cita-cita terfavorite generasi muda lulusan SMA atau yang sederajat dengan SMA. Inilah jalan terang menuju masa depan yang gemilang. Masa depan itu adalah mendapatkan pekerjaan bergaji besar. Tentu saja ada sebagian kecil anak-anak muda yang kreatif, bukannya menjadi pekerja, malah memberikan pekerjaan kepada orang lain. Tapi, yang ‘out of the box’ ini lebih karena kualitas dirinya, bukan ‘by design’.

Bila kita perhatikan berita-berita yang bertebaran di dunia maya, lulusan perguruan tinggi dikeluhkan banyak menganggur. Angkanya lumayan besar, bisa ratusan ribu pertahun. Tidak kurang Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Prof Intan Ahmad mengatakan ratusan ribu lulusan perguruan tinggi yang mengganggur setiap tahunnya (https://news.okezone.com/read/2018/06/26/65/1914304/ratusan-ribu-lulusan-perguruan-tinggi-per-tahun-menganggur). Prof Intan juga mengeluhkan rendahnya kemampuan menulis lulusan perguruan tinggi. Rendahnya kemampuan menulis biasanya berkaitan dengan rendahnya daya baca (literasi).

Ternyata, keluhan kualitas lulusan yang dikeluhkan Prof Intan ini, memiliki basis riset yang serius. Mari kita simak yang disampaikan praktisi Pendidikan Dr. Adian Husaini (Founder Pesantren AtTaqwa Depok), di situs resmi Pesantren AtTaqwa (http://www.ponpes-attaqwa.com).

Beliau memaparkan bahwa pada 24 Oktober 2017, Beliau diundang Lembaga Pengkajian MPR RI, untuk menjadi salah satu nara sumber dalam acara Round Table Discussion (Diskusi Satu Meja). Temanya, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Pendidikan Nasional Menurut UUD 1945”. yang menarik perhatian Dr. Adian adalah pemaparan  Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Satryo Soemantri Brojonegoro, yang menyajikan makalah berjudul ‘Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia’. Prof. Satryo menegaskan, “Sekolah bukanlah sebuah pabrik atau pun sebuah kantor.” Jika sekolah dianggap dan dikelola sebagai sebuah pabrik, katanya, maka murid-murid dianggap sebagai benda mati yang akan diolah dengan berbagai peralatan dan proses agar menjadi produk tertentu.

Sekolah, tegas Prof. Satryo, juga bukan sebuah kantor. Jika sekolah dianggap sebagai kantor, maka murid-murid diperlakukan sebagai bawahan atau pegawai yang harus taat dan menjalani rutinitas serta patuh pada atasan; tidak boleh bernalar, tidak boleh berkreasi,  tidak boleh berargumentasi, dan tidak boleh berbeda pendapat. “Pendidikan adalah proses pembentukan dan pengembangan kapasitas intelektual dan kejiwaan individu sesuai dengan potensi kejiwaan setiap individu,” kata Prof. Satryo.

Sebuah data survei disajikan Prof. Satryo. Sebanyak 460 perusahaan di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan disurvei. Hasilnya, sebagian besar pimpinannya menyatakan rendahnya ‘soft skill’ para karyawannya. Berikut datanya: 92% pimpinan perusahaan menyatakan, karyawannya sangat lemah dalam membaca; 90% menyatakan lemah dalam menulis; 84% lemah dalam etos kerja; 83% lemah dalam kemampuan komunikasi; dan 82% lemah bekerja dalam tim.ntukan jiwa mandiri.

 

“Data itu tampak memilukan. Hasil proses pendidikan yang sejak awal ditujukan untuk mencetak ‘pekerja yang baik’, ternyata pun belum memenuhi harapan. Padahal, Hard skill lebih mudah diraih. Cukup training singkat, keahlian bidang tertentu bisa dikuasai. Tetapi, soft skill terkait pola pikir dan pembudayaan suatu sikap yang baik. Dan ini perlu proses ‘penanaman’ (inculcation) nilai yang panjang dan kadang berliku”, demikian komentar Dr Adian menanggapi penyajian Prof Satryo ini.

Ketidakseimbangan lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja, adalah tantangan dari masa lalu, bagaimana dengan tantangan dari masa kini dan masa depan, atau sering disebut Era Revolusi Industri versi 4.0?

Dalam artikelnya yang berjudul “Menghadapi Era Disrupsi”, Muhammad Nur Rizal (Ketua Grup Riset Digital Literasi DTETI UGM), menulis:

“Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.”

Jadi, di era disrupsi, eksistensi Perguruan Tinggi (PT) tidak lagi bisa mengandalkan model pendidikan yang terlalu birokratis dan tidak efisien. Sebab, PT bukan lagi merupakan sumber informasi sains dan teknologi yang utama. Begitu juga, “jualan” PT lainnya berupa gelar akademis atau ijazah formal akan menghadapi tantangan berat. Sebab, dunia kerja dan dunia otoritas keilmuan, akan lebih bertumpu kepada karya nyata dan kemampuan professional. Bukan gelar akademis dan nama institusi

Dan di era disrupsi, peran guru juga akan berubah. Guru bukan lagi menjadi sumber informasi utama. “Namun,” tulis Nur Rizal, “yang lebih penting adalah revolusi peran guru sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan.” (https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/24/ozw649440-menghadapi-era-disrupsi).

Adakah model Perguruan Tinggi Ideal untuk menjawab tantangan-tantangan ini?

Dr. Adian Husaini menawarkan Model Perguruan Tinggi yang diyakini dapat menjawab tantangan ini, yang Beliau sebut Pesantren Tinggi At-Taqwa Depok.

“Dengan semangat dan amanah untuk menjadi yang terbaik itulah, insyaAllah, Pesantren Tinggi at-Taqwa Depok, bertekad untuk melahirkan lulusan-lulusan terbaik, yang lebih baik dari kualitas lulusan Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia lainnya. Dengan cara inilah, akan bisa dilahirkan satu generasi unggul. Di masa yang akan datang, InsyaAllah mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin negeri ini, di berbagai bidang kehidupan”, demikian penuturan Dr. Adian Husaini.

Selengkapnya mengenai apa dan bagaimana Perguruan Tinggi AtTaqwa, dapat diikuti di  http://www.ponpes-attaqwa.com/mewujudkan-perguruan-tinggi-ideal-paparan-tentang-pesantren-tinggi-attaqwa-attaqwa-college/

Wallahu A’lam bish-shawab.

Abu Faris

Praktisi Media Sosial, tinggal di Depok

https://www.linkedin.com/in/kus-kusnadi-42214635/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *