Perilaku Digital di Bulan Ramadhan: TIDAK BERKURANG, CUMA BERPINDAH

by
tabel Perilaku Digital di Bulan Ramadhan

Penelitian yang dirilis tahun 2015 menunjukkan adanya perubahan signifikan kebiasaan penguna internet selama Ramadhan. Konsumsi internet terbanyak pindah ke jam sahur. Perlukah puasa internet?

Yang namanya shaum Ramadhan, inti pelajarannya tentu menahan diri. Selama bulan suci ini, orang-orang mukmin menahan diri dari hal yang membatalkan shaum mereka. Bukan cuma itu, mereka juga menahan diri dari hal-hal yang dianggap bakal mengurangi nilai shaum seperti bergunjing, melakukan hal-hal tidak berguna, bertengkar, dan sebagainya.

Lalu, bagaimana dengan berinternet, apalagi berinteraksi di media sosial selama bulan suci, apakah juga berkurang?

Sebuah perusahaan yang berkecimpung di bidang profiling pemirsa digital, Effective Measure (EM), dua tahun silam merilis hasil penelitian mereka yang cukup menarik tentang perilaku digital konsumen di beberapa negara muslim, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Malaysia, dan Indonesia.  Hasil penelitian itu, berdasarkan data tahun sebelumnya, menunjukkan banyaknya konsumen yang berubah perilaku berinternetnya secara signifikan, terutama di pasar yang dominan Muslim seperti Malaysia, Indonesia dan Arab Saudi. Hal ini, menurut EM, mengharuskan perusahaan-perusahaan yang menjadikan para pengguna ini sebagai target untuk mengubah pendekatan pemasaran mereka selama periode penting ini.

Bagi UEA, Malaysia, dan Indonesia peningkatan aktivitas terjadi sepanjang malam dan terutama menjelang matahari terbit, namun tidak sedramatis yang terjadi di Arab Saudi. Di Indonesia, misalnya, ada lonjakan di data penjelajah unik (unique browser) antara pukul 4 hingga 5 pagi, yakni saat orang-orang sahur sebelum matahari terbit.

Aktif di dini hari

Di Arab Saudi, waktu puncak untuk konsumsi Internet selama bulan Ramadhan adalah dari pukul 4 hingga 5 pagi. Ini bertolak belakang dibandingkan dengan kebiasaan mereka di luar bulan puasa. Di luar Ramadhan, puncak konsumsi internet warga Saudi terjadi antara pukul 1 hingga 2 siang.

tabel Perilaku Digital di Bulan Ramadhan

Di UAE, lalu lintas internet dalam waktu semalam mengalami peningkatan dramatis selama bulan Ramadhan. Hampir mirip, trafik internet di negeri ini meningkat antara pukul 2 hingga 5 pagi, atau dua kali lipat dibanding bulan-bulan lainnya. Yang unik, puncak lalu lintas di UAE terjadi pada malam hari pukul 8. Ini menunjukkan, warga di sana mayoritas memilih online setelah berbuka puasa.

Beda lagi dengan Indonesia.  Puncak konsumsi internet terjadi pada dini hari sekitar pukul 4 pagi alias saat sahur.  Menurut EM, perilaku ini menunjukkan bahwa para pengguna internet di Indonesia suka berselancar di internet sembari menikmati makan sahur!
Adapun pengguna internet di Malaysia, puncak konsumsi internet mereka terjadi sekitar pukul 5 pagi, menunjukkan bahwa mereka bangun sedikit lebih lambat dari Indonesia tetapi dengan perilaku sama, untuk mengakses internet dan makan sahur sebelum matahari terbit.

Dari konten yang dikonsumsi para pengguna selama bulan Ramadhan, ternyata tidak ada perbedaan antara kategori informasi yang diakses di saat maupun di luar bulan.

“Ramadhan adalah periode kunci bagi pengiklan digital. Dari penelitian ini, bisa ditegaskan bahwasanya para pengiklan perlu bekerja sama dengan agensi mereka untuk meninjau strategi media online mereka selama bulan Ramadhan,” kata pihak ME. Dari sisi bisnis, ini tak lain untuk memastikan bahwa mereka memasarkan kepada orang-orang pada waktu yang tepat, mengingat perilaku konsumsi internet mereka yang berbeda.

Puasa dari Media Sosial?
Meskipun tidak dikaitkan secara khusus, penelitian ME menunjukkan kurangnya relevansi antara bulan puasa dengan tindakan ‘berpuasa’ dari konsumsi internet, khususnya media sosial.

Selama ini ada banyak wacana soal perlu-tidaknya mengurangi konsumsi waktu berselancar di internet, khususnya media sosial, selama bulan puasa. Contohnya adalah Dawud Walid, seorang daí di Detroit, Amerika Serikat. Ia biasanya menuliskan tweet-nya 15 hingga 20 pesan sehari kepada hampir 6.000 pengikutnya. Umumnya topik tweet dia terkait dengan agama, pemerintahan, dan keadilan sosial. Namun selama bulan Ramadhan, ia memutuskan untuk ikut berpuasa dari bermain Twitter.

“Saya tidak berencana nge-tweet sebanyak itu di bulan puasa,” tukas Dawud. Ia bersikukuh, jalan terbaik agar shaumnya lebih terjaga adalah dengan menjauhi media sosial. Di dalam negeri pun ada yang bersikap demikian. Seorang rekan alumnus sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Bogor, yang biasanya sehari-hari aktif di platform Facebook, menyatakan mundur sejenak dan menonaktifkan akunnya.

Apalagi selama ini memang sudah dikenal, lewat beberapa kajian, bahwa media sosial memberi dampak tak elok. Facebook, misalnya, dikenal sebagai platform yang bisa mengundang rasa cemburu atau iri dan perasaan rendah diri. Ini karena seorang pengguna melihat pengguna lainnya memposting hal-hal bersifat keberhasilan atau kebahagiaan yang ia tidak bisa capai. Foto wisata ke luar negeri, pesta dengan teman, memamerkan belanjaan mahal yang baru saja dibeli, adalah contoh-contoh lumrah praktik tidak sehat di Facebbook. Sementara Twitter dikenal sebagai platform yang bisa membuat penggunanya menjadi lebih kejam dalam mengomentari posting pengguna lain, atau topik-topik yang ia tidak setuju atau tidak senangi.

Di pihak lain, ada pula yang beranggapan bahwa bulan Ramadhan justru momen tepat menyebarkan informasi dan konten dakwah lebih gencar. Banyak tips bertebaran, antara lain anjuran mengurangi kepo terhadap suatu isu yang dianggap tak perlu diperdebatkan anjang, menahan diri tidak mengomentari negatif konten pengguna lain, atau melakukan posting yang menyejukkan yang potensial menambah pahala kebaikan.

Nah, termasuk golongan yang manakah Anda?

(ahmad husein)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *