Resistensi UU MD3

by
Hendri Satrio. Foto: Zuhdi

“Sebetulnya, tanpa Pasal (merendahkan kehormatan Dewan) ini pun kita semua sepakat bahwa DPR merupakan lembaga yang harus dijaga marwahnya. Yang kita khawatirkan ada barter kepentingan, antara penjaga Pasal kehormatan DPR dengan RKUHP tentang Pasal Penghinaan Presiden,” kata Hendri Satrio.

Wartapilihan.com, Jakarta – Pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beberapa waktu lalu menuai polemik dan kontroversi dari berbagai pihak. Salah satu Pasal yang menjadi sorotan yaitu Pasal 122 huruf (k) dalam UU MD3.

Bunyi pasal itu, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Analis Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menuturkan, kontroversi Pasal-Pasal dalam UU MD3 sejak awal dapat dihindari oleh Anggota DPR. UU MD3 mulanya hanya fokus pada penambahan kursi pimpinan DPR/MPR, seiring berjalannya waktu UU MD3 terkesan menafsirkan DPR anti kritik.

Guna meredam respon publik, DPR akan memberikan penjelasan-penjelasan pasal kontroversi terutama terminologi “merendahkan kehormatan dewan”. Ia meminta publik terus mengawal Pasal tersebut sebagai fungsi check and balance. Demikian disampaikan Hendri dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2).

“Ini suatu hal yang aneh, para wakil rakyat masih menerima gaji dari rakyat, tapi menghindar dari celotehan-celotehan rakyat,” ujar Direktur Lembaga Survey Kedai Kopi itu.

Terlebih, kata Hendri, DPR seringkali membuat keputusan tergesa-gesa. Sehingga, lanjutnya, tidak menutup memungkinkan publik menghakimi DPR memiliki agenda terselubung dibalik penetapan keputusan.

“Sebetulnya, tanpa Pasal ini pun kita semua sepakat bahwa DPR merupakan lembaga yang harus dijaga marwahnya. Yang kita khawatirkan ada barter kepentingan, antara penjaga Pasal kehormatan DPR dengan RKUHP tentang Pasal Penghinaan Presiden,” terangnya.

“Mudah-mudahan arahnya tidak kesana. Karena pada saat pembahasan, pihak pemerintah (Kemenkumham/Yasonna Laoly) seperti menarik diri dari polemik UU MD3,” imbuh Hendri.

Ia melihat Pasal Penghinaan Presiden bukan diinisiasi pada pemerintahan Jokowi-JK, tetapi sudah ada sejak pemerintahan SBY-Boediono. DPR di era Jokowi, ujar Hendri, seharusnya tidak lagi membahas Pasal tersebut. Bahkan, ada beberapa anggota DPR yang inkonsisten dengan dukungan revisi UU MD3.

Hendri meminta agar Pasal-Pasal dalam UU MD3 dikaji ulang. Ia setuju kehormatan simbol negara harus dijaga, namun jangan sampai menjadi pasal karet.

“Saat Orde Baru, kita kenal ada Pasal Subversif. Terdapat pada era Bung Karno (Soekarno), kemudian digunakan era Soeharto untuk menyelamatkan rezim Soeharto dari rezim Soekarno,” ungkapnya seraya mentamsilkan Pasal Penghinaan Presiden digunakan di rezim setelah Jokowi.

Anggota DPR saat ini, simpul Hendri, merupakan anggota tercerdas sepanjang masa. Sebab, benar-benar menggunakan wewenangnya untuk menyelamatkan marwah lembaga perwakilan rakyat itu.

“Kalau masalah citra memang mereka nothing to lose. Namun, citra itu stagnan jika hanya memikirkan UU MD3. Kita mengharapkan di era Bamsoet (Bambang Soesatyo/Ketua DPR) citra DPR lebih baik lagi. Kalaupun kemarin UU MD3 mau disahkan, maka pembatasannya harus jelas,” tandasnya.

Penasehat Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani menjelaskan, rumusan pemanggilan orang awalnya bukan perorangan tapi setiap pejabat. Namun, dalam perkembangannya pihak pemerintah meminta perubahan. Karena itu, saat Sidang Paripurna beberapa waktu lalu pihaknya memilih Walk Out (WO) menolak pengesahan UU MD3 yang dinilai terburu-buru.

“PPP menolak bukan karena tidak kebagian kursi pimpinan (DPR/MPR). Jika penjelasannya cukup jelas terutama Pasal 122 (k), saya yakin publik tidak gaduh. Kalau kami tidak WO, artinya kami mengikuti pengambilan keputusan,” tuturnya.

Kuasa Hukum Pemohon uji materi UU MD3 Irman Putra Sidin menggarisbawahi kekuasaan absolut yang dilakukan DPR. Menurutnya, dalam konteks negara hukum teks, kata dan tanda baca menentukan seorang terkena delik. Bukan soal garansi politik semata dari anggota wakil rakyat itu.

“Setidak-tidaknya ada harapan untuk rakyat bahwa Partai Politik tidak akan melakukan langkah hukum jika dikritik,” ucapnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karua menduga ada desain untuk menciptakan kegaduhan lembaga negara, tidak hanya di ranah legislatif tapi juga eksekutif. Ia menilai revisi UU MD3 hanya manifesto semangat berbagi kursi pimpinan dan mengembalikan citra DPR ke masa Orde Baru.

“DPR tidak pernah ramah bahkan tidak peduli kritik pasca reformasi. Seperti soal kinerja, setiap saat kita menyaksikan kritik publik tidak pernah terpantul pada masa sidang selanjutnya. Mereka anggota DPR) rasanya sakit dengan kritikan berulang-ulang, dan ingin kritikan ini dihilangkan,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *