Sengkarut PPDB Online

by
Ilustrasi sistem PPDB online. Foto: Istimewa.

PPDB 2018 memicu masyarakat memanfaatkan peluang lemahnya kontrol pemberian SKTM oleh kelurahan setempat, sehingga banyak salah sasaran. Orang mampu mendadak mengaku miskin.

Wartapilihan.com, Jakarta — Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan strategi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional, niat baik ini tentu perlu diapresiasi. Malangnya, dalam prakteknya Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, justru banyak menimbulkan kehebohan di masyarakat.

Sistem zonasi, menurut Mendikbud, merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Karena, rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah.

Dengan demikian, maka siapa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu. Nilai UN dalam sistem zonasi bukan untuk membuat rangking masuk sekolah tertentu, tetapi dalam rangka seleksi penempatan. Sehingga, tidak berpengaruh pada hak siswa untuk masuk ke dalam sekolah yang dekat dengan rumahnya.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengapresiasi kebijakan Mendikbud terkait system zonasi, karena Permendikbud 14 Tahun 2018 tentang PPDB memiliki keberpihakan pada kelompok miskin yang kerap memiliki keterbatasan dan memiliki niat baik mengembalikan Ujian Nasional (UN) sebagai pemetaan bukan seleksi masuk ke jenjang yang lebih tinggi.

“Momentum pemerintah daerah lebih memperhatikan pemenuhan standar nasional pendidikan sekolah-sekolah di wilayahnya dan anggaran pendidikan tidak melulu untuk sekolah yang dianggap favorit, karena kebijakan ini menghilangkan dikotomi sekolah favorit dan tidak,” kata Retno di Gedung KPAI, Jakarta, Rabu (11/7).

Kendati demikian, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menerima beberapa pengaduan dan juga menganalisis berbagai kasus PPDB yang terjadi di banyak daerah dan diberitakan di berbagai media massa. Diantaranya sosialisasi sangat minim dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap dokumen kependudukan, baru mengurus ketika dibutuhkan.

“Termasuk sosialisasi Kemdikbud dengan para kepala dinas pendidikan di seluruh Indonesia, maupun sosialisasi Dinas Pendidikan setempat ke masyarakat atau orangtua siswa calon peserta didik baru,” kata dia.

Akibatnya, menurut Retno, banyak anak kehilangan haknya mengakses sekolah terdekat karena kesalahan orangtua yang kurang peduli pada dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, kartu penduduk dan KK. Terkait hal ini, KPAI menerima pengaduan dari Medan, Cibinong, dan Bekasi.

Selain itu, beberapa ketentuan dalam Permendikbud No 14/2018 berpotensi menuai masalah, seperti ketentuan mengenai kewajiban sekolah menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah/provinsi tertentu.

“Paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM, telah menimbulkan gejolak dari pemegang kartu-kartu lain seperti KIS, KIP dan KKS. Kata paling sedikit membuat daerah dan sekolah tidak bisa menolak ketika jumlahnya sudah 20 persen, karena tidak ada batas maksimal,” ungkapnya.

Selain itu, kata Retno, PPDB 2018 memicu masyarakat memanfaatkan peluang lemahnya kontrol pemberian SKTM oleh kelurahan setempat, sehingga banyak salah sasaran. Orang mampu mendadak mengaku miskin. Terkait ini, KPAI menyampaikan apresiasi kepada Gubenur Jawa Tengah yang sudah memerintahkan pihak sekolah untuk melakukan verifikasi factual terhadap siswa yang mendaftar di jalur yang menggunakan SKTM.

“Dari hasil verifikasi, kami menemukan 78.065 SKTM yang dianggap palsu dan dibatalkan penerimaannya, sehingga untuk PPDB SMA/SMK bisa kembali dibuka, pengumumannya yang mundur waktunya,” katanya.

Retno menjelaskan, ketentuan radius terdekat tempat tinggal dari sekolah dan ketimpangan jumlah sekolah di suatu zonasi mengakibatkan banyak anak kehilangan hak nya untuk dapat bersekolah di sekolah negeri. Adanya ketimpangan atau tidak meratanya jumlahnya sekolah negeri di suatu wilayah mengakibatkan anak-anak di wilayah yang tidak ada sekolah negeri terdekat akan kehilangan hak bersekolah di sekolah negeri.

“Misalnya di desa Bojongkulur, kabupaten Bogor adalah desa berpenduduk terpadat sekabupaten Bogor tapi tidak ada SMP dan SMA negeri di desa itu, akibatnya anak-anak di desa Bojongkulur harus mendaftar di sekolah desa tetangga yang kuotanya hanya 5%. Selain Bogor, juga ada keluhan dari Bandung, Bali, dan Gresik terkait ketimpangan jumlah sekolah negeri,” ujarnya.

KPAI mencatat ada kawasan yang padat penduduk tetapi hanya ada satu SMP negeri atau bahkan tidak punya SMP negeri. Dengan sistem zonasi, mungkin kuotanya sudah penuh untuk siswa yang rumahnya radius 500 meter dari rumah atau bahkan kurang dari 500 m. Misalkan kuota zonasi adalah 200 siswa, yang mendaftar 500, maka 300 orang tidak diterima hanya kalah oleh jarak. Siswa yang rumahnya radius 500 meter kalah oleh siswa yang radius 499 meter.

“Banyak orangtua mengeluhkan bahwa hasil perjuangan anaknya berbulan-bulan untuk UN jadi sia-sia. Karena, Siswa yang nilai rata-rata UN 9 kalah oleh siswa yang nilai rata-rata UN 5 hanya karena beda jarak rumah sekian meter saja,” ungkapnya.

Karena itu, KPAI mendorong adanya evaluasi kebijakan PPDB tahun 2018 antara Kemdikbud dengan para Kepala Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam Permendikbud No. 14/2018 agar lebih dapat menyesuaikan kondisi lapangan di berbagai daerah sehingga tahun depan ada perbaikan dalam system PPDB.

“Kami mendorong sosilisasi yang masif dan waktu sosialisasi yang panjang terkait system PPDB agar Dinas-dinas Pendidikan dan masyarakat memahami kebijakan PPDB,” tutur Retno.

KPAI, kata dia, mendorong pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk memenuhi standar nasional pendidikan merata di seluruh sekolah dan membangun sekolah-sekolah negeri baru di wilayah-wilayah zonasi yang sekolah negerinya minim.

Menurutnya, Kelemahan utama sistem zonasi adalah tidak meratanya standar nasional pendidikan di semua sekolah dan kuota daya tampung siswa di setiap wilayah yang belum jelas distribusinya. Sistem zonasi akan sangat bagus kalau sudah meratanya jumlah sekolah negeri di setiap wilayah atau daerah di Indonesia.

“Pemerintah daerah dan pemerintah provinsi wajib melakukan pemetaan sekolah yang tepat sehingga anak-anak yang tinggal di wilayah minim sekolah negeri bisa tetap terfasilitasi, misalnya dengan kebijakan zona bersebelahan,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *