Sosialisasi Mitigasi Bencana untuk Difabel

by
Anak-anak berseragam SMP diberikan pelatihan mengenai mitigasi bencana saat gempa. Foto: istimewa.

Gempa bumi dapat terjadi kapan saja tanpa mengenal tempat dan waktu. Minimnya edukasi mitigasi bencana gempa bumi kepada masyarakat dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa lebih banyak serta kerusakan infrastruktur yang lebih parah.

Wartapilihan.com, Yogyakarta — Maka dari itu, untuk meminimalisir korban, ACT DIY dan RRI Jogja Selenggarakan Mitigasi Bencana untuk Difabel Netra.

Seperti diketahui, letak geografis Indonesia sebagian besar dilalui oleh patahan lempeng tektonik yang setiap waktunya dapat bergerser dan menyebabkan gempa bumi bahkan gelombang tsunami.

Umumnya gempa bumi terjadi pada waktu mendadak yang diikuti beberapa gempa susulan, bahkan di jaman yang serba modern seperti saat ini belum ada alat yang dapat memprediksi kapan dan dimana terjadi gempa bumi, yang ada hanya alat seismograf untuk mendeteksi besaran frekuesni gempa yang terjadi yang berupa skala richter (SR).

Efek dari gempa bumi memiliki daya rusak yang luar biasa mengerikan, dapat saksikan ketika gempa bumi menerjang Yogyakarta tahun 2006 silam, setidaknya 6.234 jiwa yang meninggal serta ribuan rumah rusak akibat gempa bumi yang berkekuatan 6 skala richter.

Belum lama ini Gempa Bumi juga menerjang pulau Lombok- Nusa Tenggara Barat (NTB), gempa yang berkekuatan 6,8 SR dan 7,0 SR telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Lombok. Terlebih, hari ini, Ahad, (19/8/2018) terjadi gempa berkekuatan 6,0 skala Richter.

Data dari Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) mencatat sebanyak 436 jiwa meninggal dunia dan lebih dari 400 ribu jiwa mengungsi karena rumahnya telah rusak akibat guncangan gempa.

Aksi Cepat Tanggap (ACT) DIY bersama dengan RRI Jogja mengadakan pelatihan mitigasi bencana beberapa waktu lalu memberikan pelatihan yang dihadiri oleh 50-an penyandang difabel netra bertujuan memberi wawasan dan aksi tanggap ketika gempa sedang terjadi.

Romadaniarsih selaku narasumber dari (Disaster Emergency & Relief Management) DERM ACT DIY menyampaikan, “kesalahan ketika terjadi gempa adalah kondisi panik sehingga berlarian tanpa memperhatikan kondisi atau bahaya sekitar, atau malah berlari kembali kedalam gedung” ujarnya.

Selain dari ACT, kegiatan mitigasi bencana tersebut juga dihadiri oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta serta Komunitas Keluarga Inklusi (KKI).

Nugroho narasumber dari BMKG mengungkapkan, “sudah seharusnya edukasi tanggap bencana menjadi wawasan umum masyarakat Indonesia karena kita hidup diwilayah yang sepanjang teritorialnya dilalui oleh patahan lempeng tektonik” tandasnya.

Tohirin dari KKI juga menyampaikan, rasa kepeduliannya terhadap penyandang difabel netra ketika gempa terjadi, “selama ini ketika terjadi gempa semua orang panik akhirnya yang terpikirkan adalah diri mereka sendiri, sementara bagi para penyandang difabel netra mereka akan sulit lari atau menyelamatkan diri tanpa bantuan orang lain, harapannya ketika terjuadi gempa kita semua juga turut peduli terhadap orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus.” pungkasnya.

Acara yang berlangsung 3 jam tersebut disiarkan secara live oleh RRI Jogja untuk menyebarluaskan wawasan siaga bencana kepada masyarakat, memberi edukasi langkah-langkah apa saja yang perlu diambil ketika pra, saat dan pasca gempa.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *