Tim Advokasi Jonru : Pemeriksaan Tersangka Tidak Manusiawi

by
Jonru Ginting. Foto : bersamadakwah.net

Sidang praperadilan Jonru Ginting di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin (15/11) agendanya pemeriksaan saksi dan ahli pemohon. Jonru diperiksa lebih dari lima jam, selama tiga hari berturut-turut.

Wartapilihan.com, Jakarta –Saksi fakta bernama Dudun mengungkapkan bahwa sejak mahasiswa Jonru aktif dalam kegiatan mahasiswa dalam bidang jurnalistik. Hal itu berlanjut sesudah selesai kuliah, Jonru bersama dengan saksi membuat kerjasama dalam bidang percetakan. Follower Jonru yang mencapai 1,4 juta orang dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yaitu pencarian dana bagi orang-orang tidak mampu ataupun pembangunan fasilitas umum yang rusak atau memerlukan bantuan. Jonru Ginting selalu membuat laporan berkala yang transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. “Jonru Ginting yang mualaf sejak umur 6 tahun melakukan aktifitas sosial selalu untuk orang lain tetapi tidak pernah mempergunakan dana masyarakat untuk diri dan keluarganya,” kata Dudun.

Ahli pidana yang dihadirkan pemohon, Dr. Suparji Ahmad menyampaikan keahliannya yang pada intinya menguatkan permohonan praperadilan pemohon.
Beberapa hal penting yang disampaikan dalam persidangan, menurut Dr Sulistyowati, anggota Tim Advokasi Muslim Jonru, pertama adalah dalam pemeriksaan sebagai tersangka untuk memperoleh fakta hukum yang lebih mendalam tidak boleh dilakukan secara tidak manusiawi misalnya di atas 5 jam berturut-turut apalagi diwaktu-waktu yang tidak biasa untuk orang beraktifitas seperti dini hari.

“Faktanya pemohon selama 3 hari berturut-turut (29 September – 01 Oktober 2017) diperiksa tanpa henti, sehingga sekira pukul 20.00 mengakibatkan Pemohon jatuh sakit, kemudian Kuasa Hukum minta dihentikan proses penyidikan,” terang Dr Sulistyowati kepada wartawan dalam pers rilisnya hari ini (16/11).

Kedua, menurutnya, penggeledahan adalah hak penyidik namun harus tetap memperhatikan hak-hak tersangka antara lain pendampingan dan dalam hal pengeledahan, jauh lebih baik jika melibatkan penasehat hukum. Apalagi jika dilakukan diwaktu-waktu yang tidak sewajarnya dalam waktu dini hari.

Faktanya menurut Sulistyowati, penggeledahan dilakukan tanpa pemberitahuan kepada penasehat hukum dan dilakukan pada jam 3 dini hari.

“ Ketiga, bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan quasi materiil sehingga akibat yang ditimbulkan harus juga jelas. Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak secara jelas disebutkan apakah itu delik aduan atau bukan namun harus dilihat bahwa pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak berdiri sendiri namun berkaitan dengan Pasal yang lain. Mengacu pada quasi materiil maka Pelapor haruslah mempunyai kepentingan yang jelas terkait dengan laporannya apakah dirugikan atau tidak. Dengan demikian pemaknaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bisa begitu saja dimaknai sebagai pidana umum tanpa syarat,” jelasnya.

Jika itu terjadi, kata pengaca ini, maka semua orang bisa melaporkan siapa saja dengan alasan ujaran kebencian tanpa batasan yang jelas dan juga akibat apa yang ditimbulkan. “Sudah seharusnya dalam memaknai Pasal 28 ayat (2) butuh kecermatan karena jika tidak sangat merugikan tersangka apalagi jika sudah terampas kebebasannya dengan dilakukan penahanan. Dalam membaca Pasal dalam undang-undang tidak hanya yang tertulis itu delik aduan atau bukan tetapi harus dilihat secara keseluruhan disambungkan dengan Pasal yang terkait juga,” paparnya lebih lanjut.

Faktanya menurut Dr Sulistyowati, Pelapor tidak ada hubungannya sama sekali dengan dugaan hatespeech yang disangkakan kepada Jonru Ginting, maka legal standing tidak terpenuhi sebagai Pelapor.
Seperti diketahui, Jonru Ginting didakwa melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) dan/ atau Pasal 32 ayat (1) Jo. Pasal 48 ayat (1) UU RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ). II
Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *